Langsung ke konten utama

Ironi Sebuah Cerpen Saya #2

Karena sudah hari H dan si penulis lagi mood nulis juga koneksi yang cukup memungkinkan (untuk gak konek) :D Tapi yang paling penting dari ini.. Kayaknya banyak yang nungguin deh :DD



Langsung aja deh ke TKP !


IRONI SEBUAH PERPISAHAN
Oleh :Qonitah Rafiusrani


Episode sebelumnya -->> Perasaan yang selalu diselimuti dengan rasa was-was dan khawatir. walaupun petugas Panti Asuhan sudah memberinya kesempatan untuk ikut bersamanya, tapi dia menolaknya. Sampai pada suatu saat...

“Tok-tok”. Siapa yang datang malam-malam begini? Batinku. Kuintip dari lubang balik pintu, sesosok pria dengan jas hitam besar menggunakan topi berdiri di tepi pintu. Apakah dia petugas dari Panti Asuhan? Batinku lagi. Tapi setelah kupikir-pikir petugas Panti Asuhan baru saja datang tadi pagi, tidak mungkin ia datang lagi malam hari setelah menerima penolakan dariku. Jika saja ia datang mungkin akan 3 atau 4 hari atau mungkin setelah aku menelponnya.
Kuakhiri semua perasaan was-was dan khawatirku pada orang itu, lalu akupun membukakan pintu untuknya.
“Sumbangan?”, katanya.
Rupanya ia adalah orang peminta sumbangan. Perasaanku lega, semua perasaan was-wasku hilang sementara terhadap orang itu.
“Rumahnya sepi ya”, katanya lagi.
Aku hanya menunduk, meraih uang di kantongku.
“Terima kasih”, lalu ia pergi.
Setelah orang itu pergi, perasaan was-was dan khawatirku datang lagi dan makin menjadi. Lalu kusuruh adik-adikku untuk tidur dan mengatakan pada mereka bahwa semuanya baik-baik saja. Tapi dalam hatiku itu tidak sama sekali. Mereka tidur dengan nyaman, aku melhat diraut wajahnya. Mereka mungkin kecapekan, khawatir, dan merindukan ayah-ibu sama denganku tapi setelah beberapa saat itu semua tak muncul di raut wajah mereka. Aku malah melihat raut wajah mereka yang nyaman dan tenang.
Kutinggalkan mereka berdua di dalam kamar dan aku pun menuju ke ruang tamu. Kupastikan sudah mengunci semua pintu sebelum aku tidur. Aku melewati ruang demi ruang. Ruang makan, lalu ke ruang seni, lalu ke aula, ke perpustakaan sampai pada akhirnya aku kembali ke ruang tamu. Walaupun sudah kupastikan semua aman, tapi tetap saja masih ada perasaan khawatir dan was-was hingga hampir tengah malam mataku tetap saja tak bisa terlelap. Kuputuskan untuk tidur di depan perapian agar dapat terlihat jelas kamar adik-adikku. Sementara perasaan khawatir dan was-wasku tak begitu besar. akupun tertidur.
Aku terbangun dan melihat kearah adik-adikku rupanya mereka belum juga bangun. Lalu aku bergegas ke dapur membuatkan mereka sarapan dengan roti bakar madu dan susu sebelum mereka terbangun. Beberapa saat kemudian, aku melihat langkah-langkah kecil adik-adikku menuju perapian, celingak-celinguk seperti biasa dan kami pun sarapan bersama seperti biasa, seperti layaknya sebuah keluarga, dan seperti keluarga yang masih utuh walaupun itu tidak lagi.
Dua hari telah berlalu, rupanya petugas Panti Asuhan datang lagi.
“Kami tidak bisa membiarkan kalian lama-lama seperti ini, kalian harus ke Panti Asuhan. Kami akan mencarikan orangtua wali sebaik ayah dan ibu kalian. Kami akan memberikan yang terbaik bagi kalian, karena orangtua kalian telah baik kepada kami”.
Ya, orangtua kita juga termasuk orang yang berjasa dalam Panti Asuhan itu, ayah dan ibu sering membantu Panti Asuhan, tak jarang-jarang kami di ajak kesana. Aku pun merasa bersalah juga jika menolak lagi permintaan petugas Panti Asuhan.
“Baiklah, tapi aku harus bicara dengan adik-adikku dulu. Dan kami tidak ingin dipisahkan jika ada wali yang meminta salah  satu dari kami”, aku membuka untuk bicara.
“Kalau masalah itu, kami bisa atasi”, jawab dari petugas Panti Asuhan. Kami menyetujui semuanya dan hari ini pula kami pindah.
“Tapi bagaimana dengan rumahnya? Siapa yang merawat rumahnya?”, adik paling muda, Ana bertanya padaku setelah aku menghampirinya.
“Itu gampang”, jawab petugas Panti Asuhan menguping pembicaraan kami. “Kita bisa membuatnya menjadi museum atau kita juga bisa menjualnya”.
“Tidak!”, bantahku. “Itu rumah kami sejak kecil, kami tidak mau pergi jika rumah ini jual. Kami ingin rumah kami bisa ditempati walaupun kami sudah bisa menempuh hidup sendiri-sendiri”.
“Tidak sayang, aku hanya bercanda”, petugas itu tertawa kecil yang menggelikan tapi tidak sedikitpun menggelikan di mataku. “Kau terlalu sayang rupanya dengan rumahmu itu. Begini saja, aku akan menyuruh petugas Panti lain untuk tinggal dirumah itu sampai kalian sudah cukup besar untuk menempati rumah itu lagi”, kali ini omongannya cukup benar.
Baiklah kami berangkat ke Panti Asuhan.
Cukup lama perjalanan menuju Panti Asuhan, sekitar 30 menit. Kami juga membawa perlengkapan yang sedikit, dua koper untuk 3 orang dan boneka kesayangan Ana. Kami cukup senang dan tidak kesepian lagi. Kami juga tidak susah untuk mengenali semua orang, karena semuanya hampir sama seperti dulu kami berkunjung kesini, kecuali yang berbeda adalah petugas Panti Asuhan yang mengantarkan kami kesini, sepertinya dia masih baru disini.
Kami berkeliling Panti Asuhan berharap menemukan teman lama kami, Yuma, Galih, dan Rasti. Mereka kakak beradik yang juga sama seperti kami, orangtuanya meninggal karena kecelakaan tak lama sebelum orangtua kami meninggal. Dulu, orangtua kami dan orangtua mereka bersahabat juga kami dan Yuma, Galih, dan Rasti satu sekolah. Jadi, kami sangat dekat dengan mereka. Apalagi jika kami satu Panti Asuhan dengan mereka, kami makin jadi seperti keluarga.
“Kina! Yogi! Ana!”, teriak seseorang dari belakang memanggil nama kami.
Kami menoleh dan terbelalak. Rupanya mereka yang kita cari ada di hadapan kita. Ya, Yuma, Galih, dan Rasti.
“Kami senang sekali kalian ada disini”, sapa mereka. “Kami turut berduka atas orangtua kalian, orang-orang disini mencemaskan kalian semua”.
“Terima kasih, kami juga turut berduka atas yang menimpa kalian, kalian terlalu baik untuk menerima semua itu”, kata kami.
Setelah berbicara cukup lama, kami diantarkan ke kamar kami. Berjejeran tempat tidur – tempat tidur yang tertata rapi, tapi kami memutuskan untuk mengambil dua kasur saja. Kasur yang di bawah untuk aku dan Ana, kasur yang diatas untuk Yogi. Sebelum tidur kami bercanda dengan anak-anak lain penghuni Panti, bertukar cerita hingga kekhawatiran kami sedikit mereda. Setelah bercanda cukup lama, kami pun memutuskan untuk tidur dan membayangkan bagaimana indahnya esok hari, berkumpul bersama Yuma, Galih, dan Rasti sahabat kami, berbagi cerita dengan anak-anak lain, dan membantu Ibu Panti bekerja.
Esok hari telah datang, batinku sambil membuka mata begitu juga dengan beberapa anak lain. Beberapa saat kemudian alarm berbunyi. Semua anak panti dengan segera bangun. Mereka bergantian menuju kamar mandi, begitu juga dengan kami. Setelah semua telah siap, kami duduk di meja yang cukup panjang yang dipenuhi dengan beberapa orang.
“Hari ini kami kedatangan tamu”, kata Ibu Panti membuka suara pada pagi itu.
“Tidak biasanya ada tamu”, bisik Yuma, Galih, dan Rasti pada kami. “Jika ada tamu, mungkin pada hari libur”.
Itu benar, tapi siapa tamu kali ini? Pikirku. Semua kebingungan itu hilang ketika datang seorang wanita dengan gaun berwarna krem dan jaket berbulu juga seorang laki-laki bertubuh jangkung dengan jas serba hitam dan dengan topinya yang hitam pula.
“Mereka adalah calon wali kalian. Ini adalah Nyonya Irin dan Tuan Dough”, kata Ibu Panti lagi.
Mereka berdua hanya tersenyum. Berjalan ke tiap bangku dengan gerakan yang anggun menatap satu per satu anak-anak panti dengan sangat detail dan sampailah pada kami.
“Hei, kalian manis sekali”, sapa Nyonya Irin pada kami.
“Terima kasih”, jawab kami dengan menunduk.
Kurasa beliau tertarik pada kami, tapi jika benar mungkin kami akan menolaknya. Cukup di sayangkan jika kami harus berpisah lagi dengan Yuma, Galih, dan Rasti.
Wanita itu pergi dari hadapan kami, disusul dengan laki-laki yang mungkin adalah suaminya. Tapi mataku terbelalak. Apa?! Benarkah dia? Dia seperti laki-laki yang meminta sumbangan malam-malam hari dengan jas dan topi yang sama, yang dapat kulihat dari bagian wajahnya waktu itu hanyalah hidungnya dan begitu mirip. Benarkah? Aku tertegun. Bagaimana begitu cepat dia menjadi layaknya orang kaya? Apakah wanita itu majikannya? Atau bukan, atau dia hanya berpura-pura?
“Aku dan suamiku sudah memilih, mungkin ini pilihan yang tidak mengecewakan. Tapi bagi anak-anak yang lain, jangan khawatir. Saya mempunyai banyak teman dekat yang bisa menjadi wali kalian. Oke kalau begitu.. ekhem.. oh, saya tidak sanggup untuk mengatakannya. Bagaimana jika suami saya saja yang berbicara”, Nyonya Irin membuyarkan lamunanku tentang laki-laki yang memungkinkan suami Nyonya Irin, tapi kenyataannya adalah yang disampaikan Nyonya Irin tadi.
 “Kami pilih Yogi sama Ana, kalian anak baik sepertinya.”
Apa? Yogi dan Ana? Bukannya aku sudah bicara untuk tidak memisahkan kami, itu sudah kesepakatan kan? Aku ingin berontak secepat mungkin, tapi berontak bukanlah hal yang baik. Ayah dan Ibu pun tidak mengajarkan kami untuk berontak.
“Oke anak-anak pertemuan ini sudah selesai dan bisa dilanjutkan dengan kembali ke ruang makan”, kata Ibu Panti menutup perkumpulan pagi ini.
Aku segera menuju ke Ibu Panti dan Nyonya Irin, sedangkan kedua adikku telah menuju ruang makan.
“Bu, maaf sebelumnya tapi kami sudah sepakat untuk tidak di pisahkan”, aku mencoba untuk bicara baik-baik walaupun aku tidak yakin ini baik-baik.
“Tapi tidak ada keterangan disini untuk alasan seperti itu dan juga kamu ini siapanya mereka?”, Aku tertegun. Apa? Apa maksudnya perkataan itu?
“Maaf nyonya, dia ini kakak dari mereka, Nyonya Irin”, Ibu Panti pun ikut bicara.
“Tapi sungguh disayangkan kau tidak dapat ikut dengan kami, kami hanya punya cukup dua kamar untuk anak baru kami”, kata Nyonya Irin lagi.
“Bagaimana jika berikan aku satu hari saja untuk melihat perkembangan adik-adikku di rumahmu nyonya, tapi setelah itu aku tidak akan mengganggu nyonya lagi”, bantah aku sekali lagi.
“Baiklah jika kau memaksa, tapi kau harus menepati kata-kata terakhirmu itu”.
“Terima kasih Nyonya”. Aku sedikit lega sudah diijinkan untuk bersama adikku walaupun itu akan menjadi yang terakhir kalinya, tapi jika adikku senang, mengapa tidak?
Setelah berpamitan dengan semua anak Panti termasuk Yuma, Galih, dan Rasti, kami berangkat ke kediaman Nyonya dan Tuan Dough. Sangat disayangkan jika harus berpisah lagi dengan anak-anak Panti, bayangan berbagi cerita dengan mereka pun hilang, tapi setidaknya semoga masih ada satu kebahagiaan yang bisa didapatkan satu hari ini.
Tibalah kami di  kediaman Tuan dan Nyonya Dough. Kediamanannya sangat indah, halaman yang luas, dan cat yang melekat sangat mencolok, sepertinya Nyonya Irin dan suaminya baru saja membeli rumah ini atau rumah ini baru di cat ulang. Disamping rumahnya tampak kolam renang dengan suasana yang asri.
“Selamat datang dirumah kami, jangan sungkan-sungkan, bersenang-senanglah di rumah kami agar kakakmu puas”, katanya dengan tawa menggelikan itu.
Tawanya seperti petugas Panti yang mengantarkan kami waktu itu, tawanya sungguh mirip, dan tawanya sama sekali tak menggelikan, malah itu semua membuatku tersindir. Aku pun tertunduk, sedikit khawatir dan sedikit was-was.
“Oh, jangan diambil hati, kami hanya bercanda”, katanya lagi yang tentu saja diarahkan padaku. Aku hanya membalas dengan tersenyum.
Nyonya Irin dan suaminya mengantarkan kami menuju lorong-lorong yang sangat banyak, aku bahkan tak sanggup menghafalkannya, aku yakin ini akan menjadi beribu lorong. Tapi bagaimana bisa Nyonya Irin menghafalnya? Apa beliau tidak pernah tersesat sebelumnya? Walaupun umurku sama dengan beliau nantinya, aku tak akan mampu menghafalnya.
Tiga puluh menit kemudian setelah menjelajahi satu per satu lorong kami pun berada di tempat semula.
“Apakah dirumah ini ada padang pasir?”, kata Ana tiba-tiba.
“Apakah kalian mempunyai koleksi replika kapal pesiar kuno?”, Yogi bertanya-tanya.
“Oh, kalian anak-anak yang lucu sekali. Ana, aku akan membangun padang pasir untuk tempat bermainmu besok. Yogi, rupanya kau menyukai barang-barang koleksi kuno. Dough akan menemanimu ke museum barang-barang kuno besok dan di pelelangan barang kuno kau bisa menawar sesuai yang kau inginkan”, kata Nyonya Irin panjang lebar.
“Oh nyonya, tidak usah repot-repot”, kataku demikian.
“Kina tega sekali kau tidak memberitahukan hal-hal yang mereka sukai padaku”, lanjutnya.
Apa? Sejak kapan aku punya waktu mengobrol dengan beliau? Aku sungguh tidak ingin mempunyai wali seperti dia. Dia memang memiliki segalanya tapi dia tak tahu cara memberi kasih sayang, dia hanya tahu cara membeli barang apapun. Tapi aku melihat raut kedua adikku itu, mereka sungguh antusias dengan janji Tuan dan Nyonya Dough, mereka pasti sedang membayangkan apa yang terjadi besok, indahnya besok. Pasti mereka juga membayangkan gagahnya museum dan kastil berdiri di esok hari.

 ***

Lalu bagaimanakah dengan nasib Kina? Apa yang akan dilakukan Kina? Manakah jalan yang di pilih? *ya ampun sampek kayak sinenet :D* Tapi!!!!! Penasaran gak? Penasaran dongg!!
Tunggu besok ya :)))

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Soal ungkapan the sunset is beautiful, isn’t it

“senjanya indah, ya?” kata penulis menatap seorang laki-laki di samping penulis. kami sedang duduk di pinggir pantai dan menatap langit dengan semburat merah jingga yang sangat apik itu. rasa ingin menggapai senja tapi kami hanya berdiam disini karena senja selalu lebih indah dinikmati dari kejauhan. yang diajak bicara tak menanggapi apa-apa. Nihil dibalut kesunyian sore itu. Matahari enggan bertahan di angkasa lebih lama lagi, maka seiring itu pula keduanya pulang.  di atas motor yang mereka bawa, keduanya tak membuka satupun pembicaraan. mereka masih ikut terbenam dalam keindahan senja yang hampir gugur itu. alih-alih terhanyut, penulis malah memang berniat untuk tak menggubris perkataan yang nantinya akan keluar. alih-alih, ia memilih merenung dan menanyakan lagi pada dirinya sendiri dalam hati, “senjanya indah, ya?” tak ada satupun air mata yang keluar membasahi pipinya. meski ia lebih menginginkan itu daripada harus menahan pencernaannya yang tidak kunjung baikan selama 5 hari ata

Are u okay?

Halo semua, maaf penulis lama sekali meninggalkan blog ini. 2022, tahun yang telah berganti belum sempat penulis sapa. Rutinitas setahun terakhir benar-benar berulang secara cepat. Banyak hal yang terskip selain dari hal yang menjadi prioritas, kerja. Tapi ternyata setelah setahun ini, akhirnya penulis kembali ke blog ini karena suatu hal yang akhir-akhir ini sering kembali menghampiri. Mungkin fase yang secara cepat berjalan ternyata menimbulkan suatu dampak, bahwa disadari tidak semua ikut berjalan secara cepat dan disadari tidak semua baik untuk ikut berjalan secara cepat. Salah satu yang sering menghampiri selama setahun belakangan adalah rasa cemas. Perasaan cemas yang semakin lama semakin cepat datang. Sungguh tidak nyaman. 365 hari yang silih berganti hingga menjadi satu tahun. Satu hari yang berarti 24 jam, harus habis begitu saja dengan pekerjaan, bersosialisasi, me time  yang tak lain sebagai distraksi dari pekerjaan ( tragic ), berkabar pada sanak saudara dan kerabat terdeka