Cerita ini berisi hubunganku dengan hujan yang begitu rumit, kalau dipikir-pikir sih. Bagaimana aku tak selalu bersama hujan. Kadang aku ada dan dekat disampingnya, namun kadang aku menghindar darinya. Hujan bisa dijadikan perumpamaan, aku dan hidup ini. Perumpamaan aku dan masalahku. Kadang aku pengecut yang brutal dan kadang aku mangsa yang sekali tebas.
Jujur saja cerita ini entah darimana awalnya. Waktu penulis masih SD, hujan masih biasa-biasa saja bagi penulis, kapanpun dia datang ya sudah datang. Lalu SMP, hujan memang berbeda saat itu, masih sederhana namun lebih rumit. Penulis lebih suka hujan dulu waktu awal-awal SMP. Mendengarkan musik dan belajar dikala hujan itu lebih syahdu dan tentram ke hati. Menantikan bau-bau tanah yang dibasahi tetesan air membuat siapapun siswa ingin berlama-lama didalam kelas. Sejuk, tidak seperti kota Situbondo biasanya. Kami menyukainya, penulis juga. Semakin lama dan semakin naik kelas di SMP, penulis merasa tak ada yang spesial dari hujan. Terakhir kali penulis berfikir kalau hujan sesuatu yang buruk, basah, dingin, dan sepi. Kapan perubahan hati penulis tentang hujan terjadi, entah, penulis tidak tahu. Namun yang pasti, akhir SMP penulis masih ingat, penulis tidak menyukai hujan. Berhadapan dengannya langsung saja penulis tidak bisa, terkecuali jika gerimis aja sih. Saat itu, hati penulis selalu bergetar karena suara hujan yang sangat deras. Biasanya penulis langsung masuk kamar atau nyari temen. Penulis gak tau jelas kenapa, tapi saat hujan datang penulis merasa takut. Penulis selalu merasa hujan membuat penulis benar-benar sendiri dan sepi. Oke, deskripsi penulis sebenernya lebih simple dari pada yang sesungguhnya. Aneh memang, penulis seakan akan dikurung dalam hujan, oke abaikan saja. Rumit memang.
Begitu terus sampai kuliah semester kemarin. Sejak penulis merantau ke Surabaya, tempat ini masih terasa asing, kosan yang masih asing dan penulis yang seorang diri. Tubuh penulis biasanya bergetar hebat kalau udah hujan lebat dikosan. Terlebih penulis seorang diri dikamar. Mau gak mau penulis harus keluar kamar, biasanya ke kamar mbak din atau dikosan sekarang biasanya ke kamar Sherly.. Terus begitu sampai ketiduran. Ya kemana aja yang penting ada orang atau kalau penulis keluar kamar udah takut ditambah lemes banget, biasanya penulis nyetel musik biar gak sepi dan suara hujan gak kedengeran. Biasanya terjadi ketika hujan udah lebat dan penulis merasa bodoh banget kalau sampai buka kamar penulis, karena suara hujannya buantterrr minta ampun.
Aneh ya, anehnya lagi akhir-akhir ini penulis gak ngerasain kayak gitu. Hujan gak hujan ya sudahlah.. Penulis heran. Ya, masih sih penulis kebangun saat hujan lebat dikosan, masih sih penulis ngerasa masih sendiri kala hujan (bukan jones, maap) Gara-gara penulis terapi mungkin ya (terapi apaan)…
… atau gara-gara penulis sudah gak merasa asing lagi di tempat penulis sekarang?
Well, kita lihat aja nanti hehe😁
Situbondo, 2016 dalam keadaan hujan
Komentar
Posting Komentar
Buat mbak, mas, kakak, adik, bapak, ibu, bude, tante, paman, pakle', saudara-saudari silahkan suaranya ditulis :)
No Junk loo ya!! Salam damai :)