Karena sudah hari H dan si penulis lagi mood nulis juga koneksi yang cukup memungkinkan (untuk gak konek) :D Tapi yang paling penting dari ini.. Kayaknya banyak yang nungguin deh :DD
Langsung aja deh ke TKP !
IRONI SEBUAH
PERPISAHAN
Oleh :Qonitah Rafiusrani
Episode sebelumnya -->> Perasaan yang selalu diselimuti dengan rasa was-was dan khawatir. walaupun petugas Panti Asuhan sudah memberinya kesempatan untuk ikut bersamanya, tapi dia menolaknya. Sampai pada suatu saat...
“Tok-tok”.
Siapa yang datang malam-malam begini? Batinku.
Kuintip dari lubang balik pintu, sesosok pria dengan jas hitam besar
menggunakan topi berdiri di tepi pintu. Apakah
dia petugas dari Panti Asuhan? Batinku lagi. Tapi setelah kupikir-pikir
petugas Panti Asuhan baru saja datang tadi pagi, tidak mungkin ia datang lagi
malam hari setelah menerima penolakan dariku. Jika saja ia datang mungkin akan
3 atau 4 hari atau mungkin setelah aku menelponnya.
Kuakhiri
semua perasaan was-was dan khawatirku pada orang itu, lalu akupun membukakan
pintu untuknya.
“Sumbangan?”,
katanya.
Rupanya
ia adalah orang peminta sumbangan. Perasaanku lega, semua perasaan was-wasku
hilang sementara terhadap orang itu.
“Rumahnya
sepi ya”, katanya lagi.
Aku
hanya menunduk, meraih uang di kantongku.
“Terima
kasih”, lalu ia pergi.
Setelah
orang itu pergi, perasaan was-was dan khawatirku datang lagi dan makin menjadi.
Lalu kusuruh adik-adikku untuk tidur dan mengatakan pada mereka bahwa semuanya
baik-baik saja. Tapi dalam hatiku itu tidak sama sekali. Mereka tidur dengan
nyaman, aku melhat diraut wajahnya. Mereka mungkin kecapekan, khawatir, dan
merindukan ayah-ibu sama denganku tapi setelah beberapa saat itu semua tak
muncul di raut wajah mereka. Aku malah melihat raut wajah mereka yang nyaman
dan tenang.
Kutinggalkan
mereka berdua di dalam kamar dan aku pun menuju ke ruang tamu. Kupastikan sudah
mengunci semua pintu sebelum aku tidur. Aku melewati ruang demi ruang. Ruang
makan, lalu ke ruang seni, lalu ke aula, ke perpustakaan sampai pada akhirnya
aku kembali ke ruang tamu. Walaupun sudah kupastikan semua aman, tapi tetap
saja masih ada perasaan khawatir dan was-was hingga hampir tengah malam mataku
tetap saja tak bisa terlelap. Kuputuskan untuk tidur di depan perapian agar
dapat terlihat jelas kamar adik-adikku. Sementara perasaan khawatir dan
was-wasku tak begitu besar. akupun tertidur.
Aku
terbangun dan melihat kearah adik-adikku rupanya mereka belum juga bangun. Lalu
aku bergegas ke dapur membuatkan mereka sarapan dengan roti bakar madu dan susu
sebelum mereka terbangun. Beberapa saat kemudian, aku melihat langkah-langkah
kecil adik-adikku menuju perapian, celingak-celinguk
seperti biasa dan kami pun sarapan bersama seperti biasa, seperti layaknya
sebuah keluarga, dan seperti keluarga yang masih utuh walaupun itu tidak lagi.
Dua
hari telah berlalu, rupanya petugas Panti Asuhan datang lagi.
“Kami
tidak bisa membiarkan kalian lama-lama seperti ini, kalian harus ke Panti
Asuhan. Kami akan mencarikan orangtua wali sebaik ayah dan ibu kalian. Kami
akan memberikan yang terbaik bagi kalian, karena orangtua kalian telah baik
kepada kami”.
Ya,
orangtua kita juga termasuk orang yang berjasa dalam Panti Asuhan itu, ayah dan
ibu sering membantu Panti Asuhan, tak jarang-jarang kami di ajak kesana. Aku
pun merasa bersalah juga jika menolak lagi permintaan petugas Panti Asuhan.
“Baiklah,
tapi aku harus bicara dengan adik-adikku dulu. Dan kami tidak ingin dipisahkan
jika ada wali yang meminta salah satu
dari kami”, aku membuka untuk bicara.
“Kalau
masalah itu, kami bisa atasi”, jawab dari petugas Panti Asuhan. Kami menyetujui
semuanya dan hari ini pula kami pindah.
“Tapi
bagaimana dengan rumahnya? Siapa yang merawat rumahnya?”, adik paling muda, Ana
bertanya padaku setelah aku menghampirinya.
“Itu
gampang”, jawab petugas Panti Asuhan menguping pembicaraan kami. “Kita bisa
membuatnya menjadi museum atau kita juga bisa menjualnya”.
“Tidak!”,
bantahku. “Itu rumah kami sejak kecil, kami tidak mau pergi jika rumah ini
jual. Kami ingin rumah kami bisa ditempati walaupun kami sudah bisa menempuh
hidup sendiri-sendiri”.
“Tidak
sayang, aku hanya bercanda”, petugas itu tertawa kecil yang menggelikan tapi
tidak sedikitpun menggelikan di mataku. “Kau terlalu sayang rupanya dengan
rumahmu itu. Begini saja, aku akan menyuruh petugas Panti lain untuk tinggal
dirumah itu sampai kalian sudah cukup besar untuk menempati rumah itu lagi”,
kali ini omongannya cukup benar.
Baiklah
kami berangkat ke Panti Asuhan.
Cukup
lama perjalanan menuju Panti Asuhan, sekitar 30 menit. Kami juga membawa
perlengkapan yang sedikit, dua koper untuk 3 orang dan boneka kesayangan Ana.
Kami cukup senang dan tidak kesepian lagi. Kami juga tidak susah untuk mengenali
semua orang, karena semuanya hampir sama seperti dulu kami berkunjung kesini,
kecuali yang berbeda adalah petugas Panti Asuhan yang mengantarkan kami kesini,
sepertinya dia masih baru disini.
Kami
berkeliling Panti Asuhan berharap menemukan teman lama kami, Yuma, Galih, dan
Rasti. Mereka kakak beradik yang juga sama seperti kami, orangtuanya meninggal
karena kecelakaan tak lama sebelum orangtua kami meninggal. Dulu, orangtua kami
dan orangtua mereka bersahabat juga kami dan Yuma, Galih, dan Rasti satu
sekolah. Jadi, kami sangat dekat dengan mereka. Apalagi jika kami satu Panti
Asuhan dengan mereka, kami makin jadi seperti keluarga.
“Kina!
Yogi! Ana!”, teriak seseorang dari belakang memanggil nama kami.
Kami
menoleh dan terbelalak. Rupanya mereka yang kita cari ada di hadapan kita. Ya,
Yuma, Galih, dan Rasti.
“Kami
senang sekali kalian ada disini”, sapa mereka. “Kami turut berduka atas
orangtua kalian, orang-orang disini mencemaskan kalian semua”.
“Terima
kasih, kami juga turut berduka atas yang menimpa kalian, kalian terlalu baik
untuk menerima semua itu”, kata kami.
Setelah
berbicara cukup lama, kami diantarkan ke kamar kami. Berjejeran tempat tidur –
tempat tidur yang tertata rapi, tapi kami memutuskan untuk mengambil dua kasur
saja. Kasur yang di bawah untuk aku dan Ana, kasur yang diatas untuk Yogi. Sebelum
tidur kami bercanda dengan anak-anak lain penghuni Panti, bertukar cerita
hingga kekhawatiran kami sedikit mereda. Setelah bercanda cukup lama, kami pun
memutuskan untuk tidur dan membayangkan bagaimana indahnya esok hari, berkumpul
bersama Yuma, Galih, dan Rasti sahabat kami, berbagi cerita dengan anak-anak
lain, dan membantu Ibu Panti bekerja.
Esok hari telah datang, batinku
sambil membuka mata begitu juga dengan beberapa anak lain. Beberapa saat
kemudian alarm berbunyi. Semua anak panti dengan segera bangun. Mereka
bergantian menuju kamar mandi, begitu juga dengan kami. Setelah semua telah
siap, kami duduk di meja yang cukup panjang yang dipenuhi dengan beberapa
orang.
“Hari
ini kami kedatangan tamu”, kata Ibu Panti membuka suara pada pagi itu.
“Tidak
biasanya ada tamu”, bisik Yuma, Galih, dan Rasti pada kami. “Jika ada tamu,
mungkin pada hari libur”.
Itu benar, tapi siapa tamu kali
ini?
Pikirku. Semua kebingungan itu hilang ketika datang seorang wanita dengan gaun
berwarna krem dan jaket berbulu juga seorang laki-laki bertubuh jangkung dengan
jas serba hitam dan dengan topinya yang hitam pula.
“Mereka
adalah calon wali kalian. Ini adalah Nyonya Irin dan Tuan Dough”, kata Ibu
Panti lagi.
Mereka
berdua hanya tersenyum. Berjalan ke tiap bangku dengan gerakan yang anggun
menatap satu per satu anak-anak panti dengan sangat detail dan sampailah pada
kami.
“Hei,
kalian manis sekali”, sapa Nyonya Irin pada kami.
“Terima
kasih”, jawab kami dengan menunduk.
Kurasa
beliau tertarik pada kami, tapi jika benar mungkin kami akan menolaknya. Cukup
di sayangkan jika kami harus berpisah lagi dengan Yuma, Galih, dan Rasti.
Wanita
itu pergi dari hadapan kami, disusul dengan laki-laki yang mungkin adalah
suaminya. Tapi mataku terbelalak. Apa?! Benarkah dia? Dia seperti laki-laki
yang meminta sumbangan malam-malam hari dengan jas dan topi yang sama, yang
dapat kulihat dari bagian wajahnya waktu itu hanyalah hidungnya dan begitu
mirip. Benarkah? Aku tertegun. Bagaimana begitu cepat dia menjadi layaknya
orang kaya? Apakah wanita itu majikannya? Atau bukan, atau dia hanya
berpura-pura?
“Aku
dan suamiku sudah memilih, mungkin ini pilihan yang tidak mengecewakan. Tapi
bagi anak-anak yang lain, jangan khawatir. Saya mempunyai banyak teman dekat
yang bisa menjadi wali kalian. Oke kalau begitu.. ekhem.. oh, saya tidak
sanggup untuk mengatakannya. Bagaimana jika suami saya saja yang berbicara”,
Nyonya Irin membuyarkan lamunanku tentang laki-laki yang memungkinkan suami
Nyonya Irin, tapi kenyataannya adalah yang disampaikan Nyonya Irin tadi.
“Kami pilih Yogi sama Ana, kalian anak baik
sepertinya.”
Apa?
Yogi dan Ana? Bukannya aku sudah bicara untuk tidak memisahkan kami, itu sudah
kesepakatan kan? Aku ingin berontak secepat mungkin, tapi berontak bukanlah hal
yang baik. Ayah dan Ibu pun tidak mengajarkan kami untuk berontak.
“Oke
anak-anak pertemuan ini sudah selesai dan bisa dilanjutkan dengan kembali ke
ruang makan”, kata Ibu Panti menutup perkumpulan pagi ini.
Aku
segera menuju ke Ibu Panti dan Nyonya Irin, sedangkan kedua adikku telah menuju
ruang makan.
“Bu,
maaf sebelumnya tapi kami sudah sepakat untuk tidak di pisahkan”, aku mencoba
untuk bicara baik-baik walaupun aku tidak yakin ini baik-baik.
“Tapi
tidak ada keterangan disini untuk alasan seperti itu dan juga kamu ini siapanya
mereka?”, Aku tertegun. Apa? Apa maksudnya perkataan itu?
“Maaf
nyonya, dia ini kakak dari mereka, Nyonya Irin”, Ibu Panti pun ikut bicara.
“Tapi
sungguh disayangkan kau tidak dapat ikut dengan kami, kami hanya punya cukup
dua kamar untuk anak baru kami”, kata Nyonya Irin lagi.
“Bagaimana
jika berikan aku satu hari saja untuk melihat perkembangan adik-adikku di
rumahmu nyonya, tapi setelah itu aku tidak akan mengganggu nyonya lagi”, bantah
aku sekali lagi.
“Baiklah
jika kau memaksa, tapi kau harus menepati kata-kata terakhirmu itu”.
“Terima
kasih Nyonya”. Aku sedikit lega sudah diijinkan untuk bersama adikku walaupun
itu akan menjadi yang terakhir kalinya, tapi jika adikku senang, mengapa tidak?
Setelah
berpamitan dengan semua anak Panti termasuk Yuma, Galih, dan Rasti, kami
berangkat ke kediaman Nyonya dan Tuan Dough. Sangat disayangkan jika harus
berpisah lagi dengan anak-anak Panti, bayangan berbagi cerita dengan mereka pun
hilang, tapi setidaknya semoga masih ada satu kebahagiaan yang bisa didapatkan
satu hari ini.
Tibalah
kami di kediaman Tuan dan Nyonya Dough.
Kediamanannya sangat indah, halaman yang luas, dan cat yang melekat sangat
mencolok, sepertinya Nyonya Irin dan suaminya baru saja membeli rumah ini atau
rumah ini baru di cat ulang. Disamping rumahnya tampak kolam renang dengan
suasana yang asri.
“Selamat
datang dirumah kami, jangan sungkan-sungkan, bersenang-senanglah di rumah kami
agar kakakmu puas”, katanya dengan tawa menggelikan itu.
Tawanya
seperti petugas Panti yang mengantarkan kami waktu itu, tawanya sungguh mirip,
dan tawanya sama sekali tak menggelikan, malah itu semua membuatku tersindir.
Aku pun tertunduk, sedikit khawatir dan sedikit was-was.
“Oh,
jangan diambil hati, kami hanya bercanda”, katanya lagi yang tentu saja
diarahkan padaku. Aku hanya membalas dengan tersenyum.
Nyonya
Irin dan suaminya mengantarkan kami menuju lorong-lorong yang sangat banyak,
aku bahkan tak sanggup menghafalkannya, aku yakin ini akan menjadi beribu
lorong. Tapi bagaimana bisa Nyonya Irin menghafalnya? Apa beliau tidak pernah
tersesat sebelumnya? Walaupun umurku sama dengan beliau nantinya, aku tak akan
mampu menghafalnya.
Tiga
puluh menit kemudian setelah menjelajahi satu per satu lorong kami pun berada
di tempat semula.
“Apakah
dirumah ini ada padang pasir?”, kata Ana tiba-tiba.
“Apakah
kalian mempunyai koleksi replika kapal pesiar kuno?”, Yogi bertanya-tanya.
“Oh,
kalian anak-anak yang lucu sekali. Ana, aku akan membangun padang pasir untuk
tempat bermainmu besok. Yogi, rupanya kau menyukai barang-barang koleksi kuno.
Dough akan menemanimu ke museum barang-barang kuno besok dan di pelelangan
barang kuno kau bisa menawar sesuai yang kau inginkan”, kata Nyonya Irin
panjang lebar.
“Oh
nyonya, tidak usah repot-repot”, kataku demikian.
“Kina
tega sekali kau tidak memberitahukan hal-hal yang mereka sukai padaku”,
lanjutnya.
Apa?
Sejak kapan aku punya waktu mengobrol dengan beliau? Aku sungguh tidak ingin mempunyai
wali seperti dia. Dia memang memiliki segalanya tapi dia tak tahu cara memberi
kasih sayang, dia hanya tahu cara membeli barang apapun. Tapi aku melihat raut
kedua adikku itu, mereka sungguh antusias dengan janji Tuan dan Nyonya Dough,
mereka pasti sedang membayangkan apa yang terjadi besok, indahnya besok. Pasti
mereka juga membayangkan gagahnya museum dan kastil berdiri di esok hari.
***
Lalu bagaimanakah dengan nasib Kina? Apa yang akan dilakukan Kina? Manakah jalan yang di pilih? *ya ampun sampek kayak sinenet :D* Tapi!!!!! Penasaran gak? Penasaran dongg!!
Tunggu besok ya :)))
Komentar
Posting Komentar
Buat mbak, mas, kakak, adik, bapak, ibu, bude, tante, paman, pakle', saudara-saudari silahkan suaranya ditulis :)
No Junk loo ya!! Salam damai :)