Hello,
Ini hanya sebuah dongeng. Selamat menikmati
Dia menghela nafas cukup panjang, raut wajahnya sedikit pucat dan terlihat lelah. Seorang gadis menunggu bus di halte cukup lama.
“Kasihan dia,” seorang gadis remaja memandanginya dari halte di seberang seraya menoleh ke arah gadis lain di sebelahnya yang tengah mengunyah permen karet. Gadis sebelahnya tidak terlalu memperhatikan dan memilih seperti acuh.
“Apanya yang kasihan. Hidupnya enak, kok. Keluarganya harmonis, temannya baik-baik, pekerjaannya stabil, posisi di kantornya juga bagus. Wajahnya cantik dan kurus. Apa yang perlu dikasihani?”
“Iya, ya, tidak ada yang perlu dikhawatirkan.” Gadis tadi merngubah pikirannya. Dia tak jadi mengkasihani gadis yang terlihat sedih dari kejauhan itu.
“Aku mengenalinya. Hidupnya benar-benar kasihan.” Seorang gadis tiba-tiba muncul di antara dua gadis yang sedang bergosip. Bajunya garis-garis berwarna kuning pastel dan biru muda, tone warna baju yang hampir sama dengan gadis murung kenakan.
“Benarkah?” Lawan bicaranya dengan mantap mengangguk. “Tapi aku dengar hidupnya sangat berkecukupan, semua indah.” Kali ini yang mengangguk si gadis dengan permen karet.
“Aku yang bilang. Aku mengenallinya juga.” Tambah si gadis yang masih mengunyah permen karet. “Apa hanya karena raut wajah yang pucat dan lelah itu? Tidak adil.”
Hujan. Suasana menjadi lebih dingin. Bus tak kunjung datang karena ada pawai di kota dan hari mulai sore.
“Pikirannya pasti sangat ramai. Berisik. Dia hebat bertahan tidak menangis, padahal hujan telah turun.” Gadis dengan kaos garis-garis itu mulai membuka percakapan lagi di antara riuhnya titik-titik hujan yang jatuh.
“Apa yang ada dipikirannya?” Gadis satunya penasaran, begitu pula gadis yang mengunyah permen karet terlihat dengan rasa penasaran juga
“Sayang sekali, dia tidak mau membagi.”
“Lalu bagaimana orang lain memahaminya?”
“Dia lebih takut orang lain tidak akan memahaminya setelah dia menceritakannya. Orang lain mungkin akan meremehkan permasalahannya yang tidak begitu besar itu.”
“Bagaimana kalau sebaliknya?”
“Bagaimana kalau memang tidak begitu besar?”
“Apa yang dia harapkan saat bercerita? Apakah dia akan mengharapkan respon yang sesuai dengan dugaanya? Kalau begitu, berceritalah pada cermin!” Gadis yang mengunyah permen karet sedikit kalut dalam emosi. Dia membuang permen karetnya sembarangan, ia merasa tak tahan dengan cara berpikir gadis itu.
“Itu hanya akan menyulut argumen. Panjang, sementara dia sudah lelah untuk membangun benteng dirinya sendiri. Benteng yang sedang hancur. Pertahanan terakhir adalah satu-satunya garda terdepan, dia.”
“Dia hanya tidak mau menambah luka, tapi kalau begitupun dia hanya akan kelelahan membangun bentengnya kembali, garda terdepannya juga sudah kelelahan. Dia sendiri kelelahan.” Gadis yang terus memandangi gadis di halte seberang itu mulai mencerna semua ini. “It will never heal” katanya lagi. Dua gadis disampingnya sontak menoleh ke arahnya. Sepakat untuk mengangguk dengan perlahan.
“Kasihan dia,” seakan setuju, tiga gadis itu mengatakan dengan serentak. Mereka menyadari kali ini pikiran gadis murung itu tidak akan berhenti. Sejauh dia mencoba untuk menghentikan pikirannya, sejauh itu pula pikirannya akan tetap menghantuinya.
Seiring hujan yang mulai reda, tiga gadis itu menyebrang jalan menuju halte di seberang mereka, mengubah tujuan mereka. Seakan berpikir, jika mungkin bukan dari pikiran gadis murung itu yang menghentikannya, setidaknya pikiran mereka juga mengharap gadis itu menghentikan pikirannya.
Mungkin saja sebaliknya, gadis itu juga berpikir seseorang bisa menyelamatkannya meski ia juga memiliki pikiran untuk tidak mengutarakannya.
—the end—
Komentar
Posting Komentar
Buat mbak, mas, kakak, adik, bapak, ibu, bude, tante, paman, pakle', saudara-saudari silahkan suaranya ditulis :)
No Junk loo ya!! Salam damai :)