Langsung ke konten utama

Sebenar-benarnya analogi vaksin booster 2 - dalam hal penyesuaian

Halo moonwalker,

Lama ya tidak bercuap-cuap. Postingan ini sebenarnya gak ada kaitannya sama sekali seperti postingan judul yang sama "Booster a.k.a Penggerak" apalagi diperuntukkan untuk orang yang sama, no, sama sekali. Hahaha, mohon maaf.


Setelah 2 tahun di Jakarta, mungkin akhir tahun 2022 sampai sekarang menjadi periode waktu untuk penulis tidak memaksakan sesuatu. Memaksa memiliki pemikiran yang sama, memaksa menyesuaikan pada keadaan, memaksa beradaptasi, memaksa bisa menjalani semua hal, dan memaksa untuk menjadi orang Jakarta (hahaha ini aneh). Tapi ya 'di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung'.

Tapi penulis tau,

I'm not that fit.

Fit into all.

Fit within all.

Fit all.

Nggak.


Analoginya seperti vaksin booster 2 yang kemarin saja baru disuntikkan ke lengan kiri penulis - hasil  diingetin teman kantor penulis dan kalau nunggu dari kantor pasti lama. Vaksin yang sebenernya mungkin membuat gebrakan efek samping 'linu-linu' di lengan kiri penulis karena substansi yang disuntikkan masih asing oleh tubuh, walaupun kemudian lama-lama akan beradaptasi juga, tapi tetap akan selalu diingat kalau vaksin ini tetap ada di dalam tubuh penulis (bahkan di pedulilindungi akan diingat kalau sudah vaksin booster 2).

Ya, macam tu.

Penulis baru merasa memilah-milah lagi setelah berusaha tidak menjadi diri sendiri. Setelah berusaha observasi dan menganalisis sebenernya bagaimana hidup di ibukota yang keras ini, di pertemanan, dan lingkup perkantoran dengan tingkat intermediate to advance. Ada hal dimana penulis beremosi dan ada hal ketika emosi penulis habis, penulis memilih untuk diam. Hanyut.

Hanyut sampai kamu merasa terasingkan.

Bahkan hanyut pun akan terasa melelahkan. Jadi kamu memilih terdampar lagi, meski masih di satu pulau namun pantai yang berbeda. Orang-orang yang berlalulalang pun sama, sama-sama terlihat lelah di raut wajah mereka namun hanya saja mereka tidak memilih untuk hanyut.

Penulis tak bisa lagi seperti itu. 'bagaimanapun, penulis akan diterima', mungkin seperti itu yang ada dipikiran penulis.

Kalau tidak cocok disini, mungkin penulis perlu mencari pantai yang lain. Tidak perlu sampai mengasingkan diri ke tempat yang jauh, hanya berjarak 2 - 3 km pantai akan terasa beda. Toh, eksistensi penulis sudah cukup diingat di lingkungan penulis sekarang. Penulis bukan seseorang yang baru dan asing lagi. Bukan seperti virus atau sesuatu yang tidak tercatat lagi, tapi mungkin sesuatu yang normal dan hanya ingin membaur dengan society

Ini semua butuh waktu. Penulis juga begitu. Dua tahun ke belakang ini menjadi bekal sebuah proses adaptasi, memang bukan waktu yang cepat. Hanya saja adaptasi yang sebelumnya tentu membuat persona tertentu pada diri ini dan itu cukup, selanjutnya jalani dengan yang kamu bisa tanpa perlu fit pada semua hal. Lakukan yang ingin kamu lakukan dan tunjukkan sendiri apa yang menjadi passion dan yang membuatmu selalu bersemangat.

Sama seperti vaksin booster yang sepertinya bukan lagi jadi urgensi saat ini, tapi saat kamu booster akan lebih baik. Saat kamu mencoba untuk berfikir tidak lagi harus sesuai dan cocok pada semua lingkunganmu, saat itulah kamu mungkin akan lebih tenang. Jadi pribadi yang baik saja, itu sudah cukup.

Ngomong-ngomong soal bersemangat, cerita ini akan ada lanjutannya. Tapi penulis sedang memikirkan analogi apa yang tepat.


Sudah dulu ya, bye :)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Soal ungkapan the sunset is beautiful, isn’t it

“senjanya indah, ya?” kata penulis menatap seorang laki-laki di samping penulis. kami sedang duduk di pinggir pantai dan menatap langit dengan semburat merah jingga yang sangat apik itu. rasa ingin menggapai senja tapi kami hanya berdiam disini karena senja selalu lebih indah dinikmati dari kejauhan. yang diajak bicara tak menanggapi apa-apa. Nihil dibalut kesunyian sore itu. Matahari enggan bertahan di angkasa lebih lama lagi, maka seiring itu pula keduanya pulang.  di atas motor yang mereka bawa, keduanya tak membuka satupun pembicaraan. mereka masih ikut terbenam dalam keindahan senja yang hampir gugur itu. alih-alih terhanyut, penulis malah memang berniat untuk tak menggubris perkataan yang nantinya akan keluar. alih-alih, ia memilih merenung dan menanyakan lagi pada dirinya sendiri dalam hati, “senjanya indah, ya?” tak ada satupun air mata yang keluar membasahi pipinya. meski ia lebih menginginkan itu daripada harus menahan pencernaannya yang tidak kunjung baikan selama 5 hari ata

Are u okay?

Halo semua, maaf penulis lama sekali meninggalkan blog ini. 2022, tahun yang telah berganti belum sempat penulis sapa. Rutinitas setahun terakhir benar-benar berulang secara cepat. Banyak hal yang terskip selain dari hal yang menjadi prioritas, kerja. Tapi ternyata setelah setahun ini, akhirnya penulis kembali ke blog ini karena suatu hal yang akhir-akhir ini sering kembali menghampiri. Mungkin fase yang secara cepat berjalan ternyata menimbulkan suatu dampak, bahwa disadari tidak semua ikut berjalan secara cepat dan disadari tidak semua baik untuk ikut berjalan secara cepat. Salah satu yang sering menghampiri selama setahun belakangan adalah rasa cemas. Perasaan cemas yang semakin lama semakin cepat datang. Sungguh tidak nyaman. 365 hari yang silih berganti hingga menjadi satu tahun. Satu hari yang berarti 24 jam, harus habis begitu saja dengan pekerjaan, bersosialisasi, me time  yang tak lain sebagai distraksi dari pekerjaan ( tragic ), berkabar pada sanak saudara dan kerabat terdeka