Langsung ke konten utama

Bitterness

Hai,

Penulis saat ini berada di kamar dan memutuskan untuk izin satu hari ga masuk kerja. Keadaan penulis sekarang lebih baik daripada tadi pagi. Perbedaannya cuman sepasang mata penulis yang lagi sepet (kata kbbi artinya: rasa seperti melekat atau tidak enak (tentang mata)) banget setelah mengeluarkan air mata.

"I did everything right, we did everything right" 

Kata-kata penuh makna dari seorang Oleksandr Akimov, pemimpin giliran kerja di reaktor no.4 Chernobyl di saat terjadinya ledakan.

Satu kalimat yang penuh arti dan sekaligus menjadi perdebatan penulis dan mba Yuni yang kala itu sedang menonton miniseries dari HBO.

Bagaimana bisa?
Karena interpretasi kita yang berbeda.

Di episode pertama hingga episode keempat, penulis merasa kalimat itu mengungkapkan rasa ketidakadilan, tidak terima, dan yakin akan apa yang dilakukannya telah benar diikuti dengan sebuah protes pada keadaan karena tidak sesuai dengan apa yang dikerjakan.

Di sisi lain, mba Yuni, teman satu kos penulis yang ikut menonton miniseries tersebut menyuarakan perbedaan pendapat. Mba Yuni merasa itu adalah sebuah kalimat untuk menyangkal apa yang dirinya rasakan saat itu. Pesan yang belum selesai terjawab, seperti ada sesuatu yang dia sembunyikan dan belum terkuak.

Kita dibawa menuju episode terakhir, yakni episode 5. Dimana penjelasan sesungguhnya diurut runtut dan dijelaskan dengan sejelas-jelasnya termasuk kalimat yang disebutkan oleh Akimov.

Lalu kita berdua setuju, masing-masing dari interpretasi kita adalah benar. Semua benar.

Akimov telah melakukan hal benar sesuai dengan yang diintruksikan atasannya. Tapi ternyata dia tidak tahu bahwa atasannya tidak tahu apa-apa. Akimov hanya mengikuti apa yang diperintahkan atasannya meski pada awalnya dia merasa secara teori dia tidak harus melakukan itu. Tetapi dia tunduk pada atasannya yang telah ia percayai dan ia segani disertai dengan merasa atasannya lebih tau dari apa yang ia telah pelajari. Berbanding terbalik dari yang Akimov pikirkan, ternyata atasannya sendiri hanya memerintah namun tidak tahu apapun mengenai hal yang tidak seharusnya ia dilakukan.

Complex

Kita tidak bicara tentang siapa yang salah. Tapi mengenai makna kalimat itu.
Makna kalimat itu, kata-kata itu kompleks.

Itu juga yang menggambarkan penulis saat ini.
Ya, seperti penulis saat ini.

I did something right.

But one day, I still cry over that thing. 
It won't heal through time flies.

What did I suppose to do now?

Cerita ini sebenarnya sudah lama dan penulis tidak ingin menceritakan itu di blog ini. Selain penulis sudah tidak terlalu memikirkannya (sebelum ditulis blog ini). Juga karena, toh, setiap dari keadaan, orang-orang didalamnya telah berubah dan sudah tidak pada tempatnya (I can reach none of them).

Tetapi, sekarang,

Setelah sholat dan feel to feel pada Allah SWT.
Penulis merasa harus cerita dengan blog ini, karena begitulah penulis mengekspresikan - ya mana lagi kalo bukan disini?

Penulis sudah melewati masa-masa itu, dimana penulis seringkali tidak sengaja menangis, overthinking, dan (mungkin) stress. Satu persatu orang yang menemani curhatan penulis pergi untuk mencari dunianya yang lebih melegakan. Sementara penulis berdiam diri di tempat yang sama. Tidak secara keseluruhan sama, namun bedanya penulis tidak meminta teman lagi, karena mereka pasti pergi.

Kemudian,
Penulis mencoba harus melaluinya
Berdoa pada Yang Kuasa untuk dikuatkan
Selalu merasa bersyukur dan berfikir tidak ada penyesalan membuat penulis merasa waktu akan mengobati semuanya.

Memang benar.

Bulan berganti.
Musim juga berganti

Begitu yang penulis pikir

Tetapi rupanya..

Penulis hanya lupa sesaat, tetapi tidak terobati.

Can anybody help me
How to
What to do
- Growing up

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Soal ungkapan the sunset is beautiful, isn’t it

“senjanya indah, ya?” kata penulis menatap seorang laki-laki di samping penulis. kami sedang duduk di pinggir pantai dan menatap langit dengan semburat merah jingga yang sangat apik itu. rasa ingin menggapai senja tapi kami hanya berdiam disini karena senja selalu lebih indah dinikmati dari kejauhan. yang diajak bicara tak menanggapi apa-apa. Nihil dibalut kesunyian sore itu. Matahari enggan bertahan di angkasa lebih lama lagi, maka seiring itu pula keduanya pulang.  di atas motor yang mereka bawa, keduanya tak membuka satupun pembicaraan. mereka masih ikut terbenam dalam keindahan senja yang hampir gugur itu. alih-alih terhanyut, penulis malah memang berniat untuk tak menggubris perkataan yang nantinya akan keluar. alih-alih, ia memilih merenung dan menanyakan lagi pada dirinya sendiri dalam hati, “senjanya indah, ya?” tak ada satupun air mata yang keluar membasahi pipinya. meski ia lebih menginginkan itu daripada harus menahan pencernaannya yang tidak kunjung baikan selama 5 hari ata

Are u okay?

Halo semua, maaf penulis lama sekali meninggalkan blog ini. 2022, tahun yang telah berganti belum sempat penulis sapa. Rutinitas setahun terakhir benar-benar berulang secara cepat. Banyak hal yang terskip selain dari hal yang menjadi prioritas, kerja. Tapi ternyata setelah setahun ini, akhirnya penulis kembali ke blog ini karena suatu hal yang akhir-akhir ini sering kembali menghampiri. Mungkin fase yang secara cepat berjalan ternyata menimbulkan suatu dampak, bahwa disadari tidak semua ikut berjalan secara cepat dan disadari tidak semua baik untuk ikut berjalan secara cepat. Salah satu yang sering menghampiri selama setahun belakangan adalah rasa cemas. Perasaan cemas yang semakin lama semakin cepat datang. Sungguh tidak nyaman. 365 hari yang silih berganti hingga menjadi satu tahun. Satu hari yang berarti 24 jam, harus habis begitu saja dengan pekerjaan, bersosialisasi, me time  yang tak lain sebagai distraksi dari pekerjaan ( tragic ), berkabar pada sanak saudara dan kerabat terdeka