Langsung ke konten utama

Things That Stop You Dreaming (in a while)

Hi fellow friend:),

Sudah lama penulis tidak posting di blog ini. Kira-kira sudah sebulan lebih dengan aktivitas yang lebih santai dari sebelumnya. Mungkin itu semua yang diinginkan alam, untuk bergerak teratur dalam ritme yang pelan, tidak grasak grusuk. Yang ada di depan mata boleh saja berubah, tapi rupanya itu tidak mengubah pemikiran penulis yang ternyata terus menerus berfikir dan tidak bisa diam. Penulis harap tidak menulis untuk sementara waktu dapat menekan pemikiran aneh penulis, tetapi ujung-ujungnya malah terus menerus terulang dipikiran kemudian menjadi timbunan yang harus dikeluarkan.


Sebenarnya ini ga mudah. Merubah pemikiran atau mengembangkan dan memilih jalannya yang lain itu sama sekali ga mudah. Penulis butuh waktu untuk mengungkapkan ini dengan cara yang netral dan tidak menggebu-gebu. Karena situasi mendadak menjadi kelabu karena debu dan kita panik akan debu yang menghalangi mata kita. Setidaknya itu yang terjadi beberapa minggu lalu, beberapa bulan lebih tepatnya, penulis rasa semua sudah cukup mahir dalam beradaptasi.

Ya, kalian udah tau arahnya kemana.
Penulis dengan tulisannya yang aneh itu menghilang sebentar. Kini diganti oleh penulis dengan pikirannya yang berkembang dan memilih jalan yang lain.

Kalau kalian ingin berhenti membaca sambil berdalih tidak seru. Gapapa. Toh tulisan ini akan selalu ada kalau kalian kembali untuk membaca.

Awalnya, penulis sampai merasa tidak mungkin ini jalannya untuk istirahat sejenak dari sibuknya dunia. Berhenti kerja dan pulang kampung mungkin tidak menjadi pelik dan masih bisa berhahahihi. Mungkin karena masih fresh, pikiran masih bisa berlenggang santai. Saat itu penulis masih ingat, berita pandemik heboh di luar sana, sebagian besar masih terjadi di daratan Tiongkok, dan terlebih Wuhan sangat keos. Setiap hari penulis tidak luput update berita itu. Setiap hari.

Rasanya ketakutan penulis mengenai bagaimana kalau nyatanya semua ini menghambat penulis. Bagaimana kalau karena wabah ini penulis tidak bisa bekerja bahkan tidak ada pekerjaan untuk penulis karena loker ditunda sampai waktu yang tidak bisa ditentukan. CPNS pun juga begitu, kan. Pengumuman mungkin sudah, tetapi tesnya masih belum dapat dipastikan. Itupun jika berhasil lolos, kalau tidak bagaimana. Atau bagaimana untuk persiapan studi lanjut. Ada niatan untuk fokus belajar IELTS di kampung Inggris, Pare, tapi ternyata dapat kabar kalau semua kelas ditutup karena wabah ini. Lagi-lagi tidak tau sampai kapan. Padahal target tes IELTS bulan April besok karena deadline beasiswa tinggal 2 bulan lagi. Bagaimana kalau ternyata kamu harus mencari waktu lagi untuk bisa mendaftar studi S2 tahun depan. Bukan soal itu saja, soal bersosialisasi mungkin. Bagaimana kalau ternyata romantic timingmu ada di saat ini dan kamu tidak bisa ke tempat yang diharuskan ada disana. Bagaimana kalau kamu sudah lama tidak bertemu orang baru dan akan bertemu dengan mereka namun naluri manusia sosialmu sudah kadaluarsa dikurung oleh semen rumahmu (oke yg ini sedikit lebay)

Waktu penulis terus diulur dengan ketidakjelasan ini. Kemelut pikiran yang tidak mau berhenti ini tentu saja bergejolak. Lalu bagaimana bulan-bulan penulis kedepan?

Di sisi lain, pemikiran dan hati penulis sedikit kontradiktif dan tidak sejalan. Apakah pemikiran penulis terlalu egois? Apakah seharusnya penulis tidak berfikir seperti itu?

Hal itu yang membuat penulis mengurungkan untuk memposting di blog ini.
Beberapa hari setelahnya, mama penulis baru saja datang dari luar kota, salah satu tempat yang sudah menjadi zona merah. Tentu, mama ditetapkan sebagai salah satu ODP. Tidak banyak yang bisa dilakukan untuk menghapus kerinduan selama seminggu tanpa beliau,. Meski sudah di rumah tapi hanya melihat beliau dikejauhan maksimal 1 meter. Mungkin yang paling merasakan adalah adik penulis yang paling kecil, yang biasanya memeluk manja sesekali namun kali ini tidak bisa dilakukan selama 14 hari kedepan.

Berita heboh juga datang dari saudara penulis yang tak disangka beberapa hari lalu membantu tahlilan orang yang telah terjangkit virus mematikan itu.

Berita tentang tenaga medis yang terinfeksi ketika kontak langsung dengan pasien saat buka praktek, bagaimana apabila itu terjadi kepada orang tua penulis yang notabene juga tenaga medis.

Seketika semua yang penulis pikirkan sebelumnya menjadi salah. Tidak terima, sambat disertai dengan ketakutan yang berlebihan menjadi perasaan yang egois. Seperti halnya tidak mengindahkan bagaimana perjuangan orang-orang yang berperan besar dalam membuat dunia menjadi pulih lagi. Orang-orang yang memikirkan dan menghadapi apa yang ada di depannya ketimbang memikirkan jauh ke depan dengan penuh harapan yang membangkang pada kehendak alam.

Sangat egois, untuk diselimuti ketakutan semu yang sangat mikro dengan subjek penulis sendiri dan mengabaikan lingkup yang lebih makro dimana ketakutan terbesar terdapat pada tenaga medis, pedagang kecil yang diharuskan untuk bekerja, dan lainnya. Bahkan penulis bukan siapa-siapa diantara itu semua. Penulis adalah orang yang menyaksikan dan dekat dengan beberapa diantaranya tapi hanya dapat berperan pasif.

Ketakutan yang dibesar-besarkan hingga nyalimu tak sanggup menghadapi hal didepanmu?

Lagi-lagi, egois.
Itu salah.

Meski pada akhirnya tak berarti seutuhnya salah.
Tak berarti ketakutan itu ditimbun dalam hatimu yang terdalam dan berpura-pura untuk sembuh sendiri.
Ketakutan itu harusnya disimpan dibawah kulitmu, kemudian disalurkan pada tangan dan inderamu yang lain agar ragamu bisa lebih merasakan perihnya dunia saat ini dan kamu masih tidak apa-apa. Kamu baik-baik saja.

Begitu setidaknya yang penulis lakukan  akhir-akhir ini. Merasa bahwa penulis mengambil jalur yang lain. Jalur yang bisa penulis simpulkan untuk tidak memikirkan dan mungkin rehat sejenak dari kecemasan tentang mimpi dan sebagainya. Rehat dari ketidakjelasan (secara harfiah) di masa mendatang. Rehat dari pemikiran takut akan masalah S2 yang terus diundur, begitu dengan persoalan kerja, pertemanan, percintaan, dan hal lainnya yang telah disebutkan sebelumnya.

Untuk sementara,
yang meski tidak jelas sampai kapan.
yang meski memunculkan perasaan itu lagi.

Tapi alih-alih membicarakan hal yang tidak jelas.
Maka,

Berfikirlah apa yang bisa kamu lakukan saat ini, bukan hanya untukmu sendiri, tetapi untuk orang-orang yang ada disekitarmu yang lebih membutuhkan sesuatu dan mungkin secara tidak langsung bisa dibantu. Mungkin bukan orang lain, tapi orang yang kamu sayangi, yang dekat denganmu, yang berpengaruh dalam hidupmu. Mungkin dirimu sendiri, kesehatanmu, dan mentalmu.
- dari seseorang yang terhitung sudah 2 bulan quarantine di rumah
*note: mau cerita dikit, judulnya tergugah dari lagunya Passenger dengan judul yang sama. Waktu itu penulis lagi lihat livestream dia dan liriknya dia ubah sedikit disamain dengan kondisi saat ini.

Tapi lirik yang ga berubah dan selalu penulis suka
If you can't get what you love
You learn to love the things you've got
If you can't be what you want
You learn to be the things you're not
If you can't get what you need
You learn to need the things that stop you dreaming
All the things that stop you dreaming
Tetap mendoakan untuk cepat kembali pulih, semuanya.
Sebentar lagi
Bye:)

Komentar

  1. Iya thor, mungkin memang waktunya sejenak tidak egois pada bumi yg saat ini sedang menyembuhkan diri wkwkwkw bagi nomor wa dong thor

    BalasHapus

Posting Komentar

Buat mbak, mas, kakak, adik, bapak, ibu, bude, tante, paman, pakle', saudara-saudari silahkan suaranya ditulis :)
No Junk loo ya!! Salam damai :)

Postingan populer dari blog ini

Soal ungkapan the sunset is beautiful, isn’t it

“senjanya indah, ya?” kata penulis menatap seorang laki-laki di samping penulis. kami sedang duduk di pinggir pantai dan menatap langit dengan semburat merah jingga yang sangat apik itu. rasa ingin menggapai senja tapi kami hanya berdiam disini karena senja selalu lebih indah dinikmati dari kejauhan. yang diajak bicara tak menanggapi apa-apa. Nihil dibalut kesunyian sore itu. Matahari enggan bertahan di angkasa lebih lama lagi, maka seiring itu pula keduanya pulang.  di atas motor yang mereka bawa, keduanya tak membuka satupun pembicaraan. mereka masih ikut terbenam dalam keindahan senja yang hampir gugur itu. alih-alih terhanyut, penulis malah memang berniat untuk tak menggubris perkataan yang nantinya akan keluar. alih-alih, ia memilih merenung dan menanyakan lagi pada dirinya sendiri dalam hati, “senjanya indah, ya?” tak ada satupun air mata yang keluar membasahi pipinya. meski ia lebih menginginkan itu daripada harus menahan pencernaannya yang tidak kunjung baikan selama 5 hari ata

Are u okay?

Halo semua, maaf penulis lama sekali meninggalkan blog ini. 2022, tahun yang telah berganti belum sempat penulis sapa. Rutinitas setahun terakhir benar-benar berulang secara cepat. Banyak hal yang terskip selain dari hal yang menjadi prioritas, kerja. Tapi ternyata setelah setahun ini, akhirnya penulis kembali ke blog ini karena suatu hal yang akhir-akhir ini sering kembali menghampiri. Mungkin fase yang secara cepat berjalan ternyata menimbulkan suatu dampak, bahwa disadari tidak semua ikut berjalan secara cepat dan disadari tidak semua baik untuk ikut berjalan secara cepat. Salah satu yang sering menghampiri selama setahun belakangan adalah rasa cemas. Perasaan cemas yang semakin lama semakin cepat datang. Sungguh tidak nyaman. 365 hari yang silih berganti hingga menjadi satu tahun. Satu hari yang berarti 24 jam, harus habis begitu saja dengan pekerjaan, bersosialisasi, me time  yang tak lain sebagai distraksi dari pekerjaan ( tragic ), berkabar pada sanak saudara dan kerabat terdeka