Langsung ke konten utama

Shock Therapy ala Pandemi

Hai para moonwalker~ 🌚🌝

Kembali lagi bersama penulis yang kadang diingat, kadang juga dilupakan. Sudah 2 bulan rupanya tidak apdet blog, setiap mau nulis selalu aja mikir.. apakah tulisannya nanti isinya mengeluh terus? hahaha.

Penulis akan bercerita sedikit 2 bulan terakhir ini ngapain aja, dimulai hari ini hingga hari-hari sebelumnya.

Sebenarnya highlight  dari kekosongan blog ini adalah apa yang menimpa penulis seminggu lalu di tanggal 8 September 2020. Dari situ penulis kembali melihat dunia dengan cara yang berbeda, sepet-sepet manis sulit untuk dijelaskan. Sepetnya karena penulis turut merasakan bagaimana menjadi suspect COVID-19. Di tanggal itu, hasil rapid test penulis reaktif.

Kadang penulis merasa kalo penulis sedang sial saja tiba-tiba memang ada tes kesehatan dan di cek darah untuk tes HIV yang ternyata sekaligus rapid test dan hasilnya malah reaktif. Saat penulis dan teman penulis dipanggil untuk tidak boleh pulang terlebih dahulu sedangkan peserta tes yang lain sudah pulang rasanya sebenarnya tidak seperti ada sesuatu. Biasa saja, penulis masih santai dan masih rileks. Mungkin hanya penulis dan beda dengan teman penulis yang sama-sama reaktif. Dia mengaku lebih khawatir dengan dirinya sendiri dan dengan orang rumah. Yang ada dipikiran penulis saat itu: penulis kan tidak punya gejala, penulis yang suka rebahan ini sudah sering olahraga bahkan 2 hari sekali meskipun cuman 15-30 menit #ini serius aku ga mengada2, jadi penulis yakin kalo tubuh penulis kuat untuk menghadapi virus yang tidak diundang itu. Dokter dan panitia yang ada disana sebisa mungkin membuat semua orang nyaman, termasuk penulis... dan memang benar. Selayaknya bagaimana tenaga medis yang memberikan pengertian.

Tapi mungkin beda cerita dengan keluarga. Meski orang tua penulis juga di bidang kesehatan, tak menjadikan tidak ada kemungkinan seseorang bisa menghindari suatu penyangkalan sebagai sebuah reaksi mereka. Meskipun penulis yakin saat orang tua penulis memberikan konsultasi dengan pasien lain akan berbeda dibandingkan dengan anak mereka sendiri. Mungkin itu suatu kontradiksi di dalam pikiran mereka karena harusnya mereka berpikir untuk melindungi putrinya tapi ternyata gagal. Penyangkalan itu mengubah penulis yang awalnya santai dan berpikir positif menjadi lebih khawatir daripada sebelumnya. Di samping itu ada adik pertama penulis yang membuat ini sebagai lelucon. Setiap kali bertemu penulis akan melontarkan kata 'hiih' seolah penulis terasa menjijikkan. Awalnya penulis tertawa dan sesekali tidak apa-apa agar tidak tegang dalam menghadapi hidup. Namun dia tetap melakukannya meski sudah ketiga kali lebih tanpa ada reaksi dari si penerima jokes, apa itu bisa ditempatkan dalam kategori sebuah lelucon. Seketika, hari itu dan besoknya dunia seolah tidak berpihak apapun pada penulis. Penulis jadi takut keluar kamar, takut-takut kalau bertemu dengan orang rumah. Penulis serasa seperti orang yang ingin menarik diri dari dunia, walaupun kejadiannya sudah mereda. Adik penulis tak lagi bergumam atau orang tua penulis jadi terus memberikan perawatan dan makanan yang meningkatkan stamina. Seperti yang kebanyakan orang bilang, COVID-19 bahkan menyerang kesehatan mentalmu dan membuatnya lebih buruk. Meskipun sebenarnya ga jatuh-jatuh banget. Orang tua penulis dan adik penulis juga hanya mengeluarkan reaksi naluriah mereka, sebenarnya tidak ada yang harus menjadi rumit.

Hari ke-3, penulis kembali mengatur ulang cara untuk bertahan (atau lebih tepatnya pasrah). Penulis tidak terlalu berfikir mencari seseorang yang kemungkinan memberikan virus ini pada penulis. Karena sejujurnya penulis udah taat banget sama aturan, pake masker, cuci tangan, hand sanitizer, ga keluaran 😭 Tapi memang sepertinya kurang satu, kalo kata pakar kurang bahagia! Bahagia katanya bikin imun meningkat. yang mana juga menjadi PR bagi penulis. Sejujurnya penulis tidak dalam kondisi yang bahagia sebelum tes kesehatan, bahkan berhari-hari sebelum tes kesehatan. 

Seingat penulis, penulis nangis luar biasa dari pagi hingga malam sampe mata tuh bener-bener bengkak, itu bukan cuma sekali. Bagaimana penulis benar-benar kepikiran setiap hari karena masalah itu. Penulis ingin menyelesaikan masalah itu, namun tidak bisa karena banyak hal yang tidak semua bisa dipaksa atau juga bukan ada dalam kendali penulis. Hari-hari pahit itu puncaknya di agustus akhir kemarin. Mungkin 5 hari sebelum tes kesehatan, penulis sempat mengaktifkan mode masa bodoh atau tidak mau mengurus hal itu lagi untuk sementara, meskipun pikiran masih tidak tenang dan kepikiran pasti sesekali singgah. Penulis bertanya-tanya apa mungkin karena itu. Kalo iya, penulis harus bahagia dan tidak melihat hal-hal yang membuat down, dan mencari kebahagiaan yang bisa dilakukan sendirian (PR juga).

Meskipun masih ada sedikit sugesti yang masuk atau sedikit parno juga yang bikin penulis merasa ada gejala kayak mual habis makan, sakit kepala karena suka rebahan, sakit tenggorokan kalo minum vitamin tapi penulis bisa lebih mengatur pikiran lebih tidak goyah dan lihat yang baik dari kemarin. Dari hari itu, penulis mematahkan pandangan orang lain (untuk diri sendiri) terkait COVID-19 dengan pandangan penulis sendiri. Ambil hikmahnya saja, kedatangan virus ini menyuruh kita untuk lebih bahagia daripada sebelumnya. Cari hal-hal yang bisa meningkatkan hormon endorfin, domapin, serotonin, dan oksitosin yang bisa dilakukan sendirian. 

Setelah hari yang super itu, hari berikutnya adalah tes swab dadakan. Penulis yang di chat mama penulis pagi sekitar jam 9 untuk tes swab di jam 3 sore, tiba-tiba mau-mau saja. Gak ada penolakan sama sekali dari penulis karena penulis juga ingin lebih pasti. Pertimbangan tentang sakit ngga nya, atau ingin mengulur waktu tunggu agak bahagia, atau kurang olahraga sekali lagi, semua itu penulis abaikan. Penulis bahkan berfikir kalau memang hasil swab positif, penulis mau saja untuk ditempatkan di sido muncul pinggir pantai pasir putih, ya meski sesekali penulis kepikiran dan merasa takut banget kalo nyawa penulis diambil lebih cepat. Mode masa bodoh yang penulis sudah diaktifkan alih-alih agar memfilter berbagai negativitas juga ternyata bikin ngawur emang waktu itu.

Review: "Ternyata swab test ga sesakit itu" - unknown, selebgram ig.

Sisa hari-hari setelah tes swab, diikuti dengan bagaimana menjadi lebih bahagia lagi. Olahraga adalah kegiatan yang meningkatkan pelepasan endorfin. Nonton film romance comedy juga bisa meningkatkan oksitosin. Makan enak. Mendengarkan musik #serius jangan dengerin album folklore terlalu banyak pas kayak gini, bikin nangis terus euy. Katanya lagu depresi bisa bikin yang dengerin melepas depresi, tapi kok penulis makin mewek ga jelas. Meditasi atau banyak-banyak beribadah biar hati lebih adem itu recommended banget.

Ini juga ada oleh-oleh dari jalan-jalan sore ke pinggir hutan yang ga ada orang lihat.

Hutannya ada di belakang gaes
Kalo yang ini di depan rumah, pas nyasar ga nemu pematang sawahnya hahahah


Selain itu, #gimana soal kesibukan penulis? penulis juga jadi merasa bahwa pekerjaan-pekerjaan yang harus dikerjakan sebenarnya bisa terasa mudah apabila pikiran kita mengijinkannya. Meski realitanya susah, jadi tidak paling susah di dunia. hahahah (ketawa tanpa dosa💨)

-Skip-

Hari ini, 16 September 2020 11:30

Penulis baru saja mengikuti zoom meeting yang diharuskan berpakaian rapi batik meskipun tampilan layar laptop hanya menampilkan kerudung penulis saja. Tapi apa boleh buat. Setelah selesai dengan zoom meeting yang super duper membuat orang keki dan tidak santai, penulis akhirnya bisa berbaring sejenak. Hahahah. Sedang asyik scroll instagram Jennie BLACKPINK berharap dia posting sesuatu hashtag twitter #WeMissYouJennie (#lha? maap), ternyata malah ada chat dari orang tua penulis. Sebuah foto kertas yang sudah lama penulis nanti-nanti dari 2 hari yang lalu (jadwal asli dikeluarkan) dan juga sumber gundah gulana beberapa hari ini atau seperti rangkaian shock therapy.

Judulnya tentang data pasien COVID di Indonesia Tanggal 19 September 2020 diikuti dengan identitas nama Qoni*** blablabla... lalu ada pemeriksaan spesimen blabla hingga dipojok kanan 'hasil pemeriksaan NEGATIF'.



penulis cuma bisa jawab ini 😶

Dah, penulis bingung closing gimana

Jaga kesehatan semua. Banyak yang sedang berjuang di luar sana dan penulis bersyukur masih bisa beraktivitas. Semangat! 

Bye

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Soal ungkapan the sunset is beautiful, isn’t it

“senjanya indah, ya?” kata penulis menatap seorang laki-laki di samping penulis. kami sedang duduk di pinggir pantai dan menatap langit dengan semburat merah jingga yang sangat apik itu. rasa ingin menggapai senja tapi kami hanya berdiam disini karena senja selalu lebih indah dinikmati dari kejauhan. yang diajak bicara tak menanggapi apa-apa. Nihil dibalut kesunyian sore itu. Matahari enggan bertahan di angkasa lebih lama lagi, maka seiring itu pula keduanya pulang.  di atas motor yang mereka bawa, keduanya tak membuka satupun pembicaraan. mereka masih ikut terbenam dalam keindahan senja yang hampir gugur itu. alih-alih terhanyut, penulis malah memang berniat untuk tak menggubris perkataan yang nantinya akan keluar. alih-alih, ia memilih merenung dan menanyakan lagi pada dirinya sendiri dalam hati, “senjanya indah, ya?” tak ada satupun air mata yang keluar membasahi pipinya. meski ia lebih menginginkan itu daripada harus menahan pencernaannya yang tidak kunjung baikan selama 5 hari ata

Are u okay?

Halo semua, maaf penulis lama sekali meninggalkan blog ini. 2022, tahun yang telah berganti belum sempat penulis sapa. Rutinitas setahun terakhir benar-benar berulang secara cepat. Banyak hal yang terskip selain dari hal yang menjadi prioritas, kerja. Tapi ternyata setelah setahun ini, akhirnya penulis kembali ke blog ini karena suatu hal yang akhir-akhir ini sering kembali menghampiri. Mungkin fase yang secara cepat berjalan ternyata menimbulkan suatu dampak, bahwa disadari tidak semua ikut berjalan secara cepat dan disadari tidak semua baik untuk ikut berjalan secara cepat. Salah satu yang sering menghampiri selama setahun belakangan adalah rasa cemas. Perasaan cemas yang semakin lama semakin cepat datang. Sungguh tidak nyaman. 365 hari yang silih berganti hingga menjadi satu tahun. Satu hari yang berarti 24 jam, harus habis begitu saja dengan pekerjaan, bersosialisasi, me time  yang tak lain sebagai distraksi dari pekerjaan ( tragic ), berkabar pada sanak saudara dan kerabat terdeka